"Berbagi Itu Indah"

Blog ini merupakan media untuk berbagi. Sebuah catatan dan karya pribadi yang bebas dari PLAGIAT. Jika anda ingin mengcopy tulisan di blog ini, harap untuk selalu memberikan Link dari tulisan yang anda copy. Terima kasih... semoga bermanfaat

Selasa, 30 April 2013

EKSEKUSI JENDRAL SUSNO DUADJI


Carut marut hukum di Indonesia masih belum berakhir, setelah masyarakat Indonesia di gemparkan oleh kasus suap dan korupsi yang melibatkan oknum Hakim, Jaksa, polisi dan para aparutur negara, saat ini kita dihebohkan lagi oleh “Eksekusi Jendral polisi Susno Duadji”. Diawali oleh Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap Susno Duadji yang menimbulkan penafsiran berbeda oleh aparat penegak hukum, termasuk susno duadji sendiri sebagai mantan jendral polisi sebagai penegak hukum, yang bersikeras menolak di eksekusi oleh kejaksaan, karena dalam putusan pengadilan negeri sampai pada putusan mahkamah agung Tidak dicantumkannya perintah penahanan. Kubu Susno berpatokan pada ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Isinya menyebutkan putusan batal demi hukum jika tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) k KUHAP. Dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k menyatakan surat pemidanaan di antaranya harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Argumentasi hukum yang digunakan pihak Susno untuk menolak eksekusi adalah ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k UU Nomor 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ketentuan pasal itu menyatakan bahwa surat pemidanaan harus memuat perintah agar terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan. Pihak Susno menafsirkan, sesuai Pasal 197 Ayat 2, putusan batal demi hukum jika tak memuat perintah eksekusi.
Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Permohonan diajukan oleh Parlin Riduansyah. Saat itu, Yusril Izha Mahendra bertindak sebagai kuasa hukumnya. 
            Dalam putusan yang dibacakan pada 22 November 2012, MK berpendapat, dalam penjelasan KUHP disebutkan, apabila terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan pidana seperti diatur Pasal 197, itu tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Sebagai hamba Tuhan yang tidak sempurna, menurut MK, hakim dapat membuat kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
"Sungguh sangat ironis bahwa terdakwa sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan," demikian bunyi putusan MK.
MK juga berpendapat, jika perkaranya berdampak tidak meluas seperti penghinaan, mungkin tidak terlalu merugikan kepentingan umum jika putusan dinyatakan batal demi hukum. Namun, jika perkaranya berdampak sangat luas seperti korupsi, tetapi harus batal demi hukum, pendapat MK, putusan itu akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat. 
Pada dasarnya jaksa adalah eksekutor negara dalam hukum yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, jadi putusan apapun yang dikeluarkan oleh hakim bersifat mengikat dan final, sekalipun dalam putusan itu sendiri terjadi kesalahan dalam pengetikan dan kehkilafan dalam penyusunannya. Hal ini juga di sampaikan oleh WamenkumhamDenny Indrayana, "Suatu putusan itu tidak dapat dianggap keliru, kecuali oleh putusan yang lebih tinggi, 
kalau pun batal, itu harus dibatalkan melalui pengadilan. Tidak bisa batal hanya berdasarkan pendapat,". Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, “"Itu sudah menjadi keputusan yang mengikat bagi siapapun, apalagi ini sudah diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan eksekusi atas putusan itu. Sehingga supaya tidak terjadi mulitafsir, pertama kejaksaan tetap harus menjalankan apa yang menjadi putusan MA".
Seharusnya hal ini dapat dipahami oleh penasehat hukum susno duadji dan aparat kepolisian, dalam masalah eksekusi ini, yang bertanggungjawab secara hukum adalah pihak kepolisian khususnya Polda Jawa Barat yang telah menghala-halangi proses eksekusi dengan berdalih memberikan perlindungan hukum kepada susno duadji. Kapolda jawa barat dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan dugaan melanggar pasal 221 KUHPidana dan pasal 421 KUHPidana dengan kategori Kejahatan. Demikian juga halnya dengan penasehat hukum susno duadji dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum pidana dengan dugaan melanggar pasal 55, pasal 56 jo pasal 221 KUHPidana dan pasal 421 KUHPidana dan pasal 160 KUHPidana tentang Penghasutan yang kesemuanya adalah delik Kejahatan.
Perlindungan hukum yang diberikan polisi kepada susno duadji bersalah secara hukum, karena kejaksaan adalah perangkat hukum Negara yang melaksanakan tugas kenegaraan dan sesuai dengan perintah undang-undang dan merupakan bagian dari diskresi penegak hukum khususnya kejaksaan.
Dalam kasus ini, disadari betapa buruknya kualitas para penegak hukum kita di Indonesia, bagaimana mungkin bunyi pasal 197 KUHAP yang sudah sangat jelas bunyinya tapi tidak dilengkapi dalam membuat putusan. Yang paling bertanggungjawab dalam kesalahan ini adalah Hakim dan panitera yang ikut dalam pemeriksaan perkara ini, sehingga putusan menjadi cacat hukum. Sungguhpun demikian putusan yang sudah diucapkan didepan pengadilan secara terbuka untuk umum tidak dapat dibatalkan kecuali lembaga pengadilan yang lebih tinggi.
Sebagai generasi penegak hukum, mahasiswa tidak boleh lengah dan bersantai dalam memasuki dunia hukum yang penuh carut marut, jangan main-main dalam menafsirkan pasal demi pasal. Karena dalam hukum yang dipertaruhkan adalah nasib seseorang, hak azasi manusia serta masa depan bangsa dan negara.

Baca juga artikel hukum:

UPAYA PELEMAHAN HUKUM




Senin, 29 April 2013

TANGGUNGJAWAB PEMERINTAH TERHADAP TENAGA KESEHATAN DALAM RUMAH SAKIT



Rumah sakit sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan sebagai bagian dari upaya mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera sudah seharusnya mendapatkan jaminan kepastian hukum, baik dalam urusan administrasi, pelayanan pengobatan, pemulihan kesehatan dan kegiatan sosial lainnya. Perlindungan hukum ini penting terutama bagi para tenaga kesehatan, sehingga tidak diperlakukan semena-mena oleh orang-orang, organisasi-organisasi serta badan hukum yang tidak bertanggungjawab.
Tanggungjawab hukum dari pemerintah ini diamanatkan secara tegas dan jelas dalam undang-undang perumasakitan. Dalam Pasal 3 huruf (d) Pengaturan penyelengaraan Rumah sakit bertujuan memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah sakit.
Dalam pasal 6 huruf (d) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertangungjawab. Dalam pasal ini tanggungjawab hukum secara penuh berada ditangan pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam memberikan jaminan perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan dan rumah sakit.
Adapun peran dan tanggungjawab Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan rumah sakit adalah sebagai berikut :
  1. Pengorganisasian:
    1. Gubernur/Bupati/Walikota bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit sesuai Standar Pelayanan Minimal yang dilaksanakan oleh Rumah Sakit Provinsi/Kabupaten/Kota,
    2. Penyelenggaraan pelayanan rumah sakit sesuai Standar Pelayanan Minimal secara operasional dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota,
    3. Pelaksanaan dan Pembinaan
      1. Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama direktur rumah sakit wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal yang disusun dan disahkan oleh Kepala Daerah,
      2. Pemerintah Daerah wajib menyediakan sumber daya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal,
      3. Pemerintah dan Pemerintah Provinsi memfasilitasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan minimal dan mekanisme kerjasama antar daerah kabupaten/kota,
  2. Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan standar teknis, pedoman, bimbingan teknis, pelatihan, meliputi: Perhitungan kebutuhan Pelayanan rumah sakit sesuai Standar Pelayanan Minimal, Penyusunan rencana kerja dan standar kinerja pencapaian target Standar Pelayanan Minimal, Penilaian pengukuran kinerja, Penyusunan laporan kinerja dalam menyelenggarakan pemenuhan standar pelayanan minmal rumah sakit 
c.       Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan laporan pencapaian kinerja pelayanan rumah sakit sesuai standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
d.      Gubernur/Bupati/walikota melaksanakan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan minimal rumah sakit di daerah masing-masing,
e.       Membentuk bidang hukum dan hubungan masyarakat rumah sakit, yang bertugas menjalankan dan menegakkan peraturan internal rumah sakit, menerima dan menindaklanjuti temuan komite medik rumah sakit atas laporan atau pengaduan dari pasien, keluarga pasien ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) tentang terjadinya dugaan malpraktik, mewakili dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam hal dan keadaan tertentu sehingga tidak mengganggu proses pelayanan kesehatan.
f.       Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui bidang hukum dan humas rumah sakit menerima dan menindaklanjuti keluhan, kritikan dari masyarakat terkait ketidakpuasan dalam pelayanan terlebih jika berkaitan dengan dugaan malpraktik medis.
g.      Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui bidang hukum dan humas menyelesaikan perkara ataupun sengketa antara dokter dan pasien atau keluarga pasien secara nonlitigasi dengan win-win solution. Sehingga masalah yang terjadi tidak terekspose ke media-media dan menghindari terjadinya pelecehan terhadap rumah sakit, dokter serta menghindari terjadinya peradilan opini.
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota menyediakan jasa Advocat secara cuma-cuma sebagai pendamping dokter yang terseret masalah hukum apabila sengketa tidak berhasil diselesaikan dengan cara nonlitigasi dan harus melalui litigasi.

Rabu, 17 April 2013

PRO KONTRA PASAL SANTET DALAM RUU KUHP

Trimen Harefa_Koleksi Penulis
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Ruu KUHP) yang saat ini digodok di DPR diharapkan mampu menjadi jawaban atas segala kekurangan dan ketertinggalan KUHP peninggalan kolonial belanda yang sedang di pakai saat ini. KUHP peninggalan belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat hukum yang terus berkembang atau yang sering dikenal dengan masyarakat modern. Perkembangan masyarakat juga menuntut perkembangan hukum yang mengikuti dan bergerak sesuai dengan masyarakat, sehingga hukum (dalam hal ini hukum pidana) mampu menjadi Social Control. Sehingga apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara dalam mewujudkan masyarakat yang aman, tertib, maju dan berbudaya dapat diwujudkan.
Saat ini para pakar hukum di Indonesia sedang bekerja keras dalam mengkaji perbuatan pidana yang di anggap patut untuk di pidanakan menurut undang-undang yang akan di sahkan nantinya. Tapi apa jadinya jika para pakar tersebut sebagian multi tafsir akan perkembangan sosial kemasyarakatan Indonesia, tentu saja hal ini akan berdampak terhadap kualitas dari hukum yang sedang dirancang itu sendiri. Salah satu hal yang sangat kontroversi dalam Ruu KUHP adalah dimuatnya pasal santet. Pasal tersebut mengundang banyak kritik khususnya bagi orang-orang dan organisasi yang berkecipung dalam dunia hukum, salah satunya dari anggota komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin dan FPDIP Eva Kusuma Sundari “Kalaupun benda santet seperti paku dan kawat ada tapi bagaimana materiallnya, bahwa yang mengirim X atau Y?”. (dikutip dari majalah Detik)
Bagi mereka yang setuju dengan dimasukkannya pasal santet dalam Ruu KUHP antara lain dari pihak Kepolisian yang diwakili oleh Brigjend Bambang Sri Herwanto yang menjabat sebagai Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum (karosunluhkum) mabes polri berpendapat “Bahwa santet merupakan ilmu gaib yang butuh pembuktianyang kongkret, namun jika nantinya di atur, polri siap untuk melaksanakan danberusaha membuktikan soal adanya santet tersebut”.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir, buru-buru meluruskan kontruksi hukum pasal 293 Ruu KUHP, “Tak ada istilah pasal santet dalam pasal 293 itu. Menurutnya, pasal itu dikenakan bagi mereka yang menawarkan jasa ilmu gaib untuk membunuh orang lain. Soal apakah orang itu meninggal karena santet, itu tak masuk pembuktian hukum. (dikutip dari majalah Detik)
Berangkat dari uraian diatas, penulis dalam hal ini berkapasitas sebagai mahasiswa hukum di salah satu universitas swasta di medan dan sekaligus sebagai pribadi  yang peduli dengan perkembangan sosial masyarakat dan perkembangan hukum itu sendiri, memberikan pandangan akan pro kontranya dimasukkannya pasal santet dalam Ruu KUHP. Santet merupakan kekuatan roh jahat (ilmu gaib) yang dengan sengaja di miliki oleh seseorang untuk membuat orang lain menderita, teraniaya dan bahkan meninggal dunia. Santet merupakan suatu bukti bahwa masyarakat Indonesia masih di pengaruhi oleh hal-hal gaib dan bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi santet merupakan bagian dari kegiatan sosial kemasyarakatan yang bertentangan dengan hukum masyarakat itu sendiri yakni Hukum adat dan juga bertentangan dengan hukum agama.
Individu yang memiliki ilmu santet tersebut tidak diterima dengan baik oleh masyarakatnya, ini adalah sanksi sosial yang didapatkan oleh seseorang yang mempunyai ilmu santet. Dan dalam hukum agama yang mengajarkan setiap umatnya untuk berbuat kebajikan akan mendapatkan upah sorgawi dan kehidupan yang kekal di akhir hidupnya nanti, jadi seseorang yang memiliki ilmu santet sudah barang pasti upahnya adalah neraka.
Berdasarkan penjelasan demikian, santet lebih tetapnya diatur sebagai bagian dari hukum Adat dan hukum agama, jadi sanksinyapun diatur oleh hukum adat masing-masing daerah serta hukum agamanya masing-masing.
Jika dalam kontruksi hukum nasional dalam hal ini hukum pidana, ketidakpastiannya antara lain :
1.       pasal santet adalah pasal yang serba tanggung pemidanaannya serta sulitnya membuktikan seseorang memiliki dan mengirimkannya ke orang lain.
2.       Bagaimana merumuskan delik santet apabila pelakunya hanya melakukan percobaan (pooging), seorang lainnya sebagai turut serta dalam melakukan kegiatan santet tersebut.
3.       Bagaimana jika kasusnya adalah delneming atau samenloop. Pembuktian masing-masing peran dari pelaku santet ini sangatlah sulit.
4.       Bagaimana dengan Saksi Ahlinya? Apakah seseorang juga nantinya akan diangkat dan diberikan sertifikat sebagai ahli santet?
5.       Bagaimana dengan Penyidiknya, apakah seorang polisi atau pegawai negeri sipil yang diberikan kewenangan sebagai penyidik harus mempunyai ilmu santet juga? Tidak mungkin penegak hukum main tebak-tebakan saja.
Jadi penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pasal santet sangat tidak tepat untuk dimasukkan dalam Ruu KUHP karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Akhir kata, semoga para pakar hukum dan aktivis hukum yang turut serta dalam perumusan Ruu KUHP tersebut diberikan kebijaksanaan dan pemikiran yang kritis, sehingga Ruu KUHP yang baru dapat menjadi jawaban dari masalah-masalah sosial masyarakat terutama dalam lingkungan hukum pidana.