"Berbagi Itu Indah"

Blog ini merupakan media untuk berbagi. Sebuah catatan dan karya pribadi yang bebas dari PLAGIAT. Jika anda ingin mengcopy tulisan di blog ini, harap untuk selalu memberikan Link dari tulisan yang anda copy. Terima kasih... semoga bermanfaat

Senin, 10 November 2014

UNSUR "BARANG SIAPA" KELIRU, DAPAT MENGAKIBATKAN DAKWAAN TIDAK DAPAT DITERIMA

Ada dua kemungkinan jika kualitas subjek hukum yang diajukan mengandung kekeliruan antara lain dengan cara menyatakan unsur “setiap orang” tidak terpenuhi, sehingga terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan Penuntut Umum, namun hal itu mengandung sedikit pergesekan dengan pengertian putusan bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas itu dijatuhkan jika kesalahan terdakwa atas “perbuatan” yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sedangkan unsur “setiap orang” dalam rumusan pasal bukanlah bagian dari unsur perbuatan, sehingga tidak terbuktinya unsur “setiap orang” sulit untuk disimpulkan sebagai alasan yang bisa membebaskan terdakwa, hal ini pernah terjadi pada perkara pembunuhan Udin wartawan bernas, dimana terdakwa Iwik diputus bebas dengan alasan tidak terbukti unsur “barangsiapa” yang sempat menjadi kontroversi.
Kemungkinan lain bahwa kekeliruan dalam unsur “setiap orang” itu bisa diakomodir melalui ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, diamana hakim dapat menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima. Menurut M. Yahya Harahap ada beberapa keadaan yang dapat dipandang bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima antara lain karena:
a.       Tindak pidana yang didakwakan sedang bergantung pemeriksaannya
b.      Orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru
c.       Sistematika dakwaan keliru
d.      Bentuk dakwaan yang diajukan keliru
Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah hakim tetap berwenang untuk menentukan dakwaan tidak dapat diterima dengan alasan adanya kekeliruan dalam unsur “setiap orang”, meskipun tanpa adanya eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa? dengan berpegang teguh pada prinsip bahwa prosedur penyelesaian perkara pidana harus dilakukan secara tepat dan sempurna, maka meskipun tidak ada eksepsi dari terdakwa/penasehat hukum seyogyanya hakim tetap berwenang untuk menyatakan suatu dakwaan tidak dapat diterima untuk menghindari pelanggaran HAM bagi orang yang diajukan kepersidangan dengan dakwaan yang tidak cermat.
Menyangkut amar putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima bisa kita temukan dalam Putusan Peninjauan Kembali MA-RI Nomor: 13 PK/Pid/2011. Majelis Hakim PK menyatakan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat diterima, dengan alasan Penuntut Umum tidak cermat dalam membuat surat dakwaan yang tidak mempergunakan Undang-Undang Pers yang sifatnya khusus. Putusan PK tersebut bisa menjadi dasar bahwa kekeliruan dalam menerapkan undang-undang dapat menjadi alasan suatu dakwaan tidak dapat diterima. Kekeliruan dalam menerapkan UU Perlindungan Anak terhadap seorang anak sesungguhnya mengandung persoalan yang hampir mirip, hanya perbedaannya bahwa disini Penuntut Umum telah tidak cermat dalam menggunakan undang-undang yang seharusnya hanya diberlakukan terhadap orang dewasa.


Kamis, 06 November 2014

JENIS PUTUSAN DALAM PERAKARA PIDANA

Trimen Harefa. Advokat/ Pengabdi Bantuan Hukum di YLBH-RI Medan, Sumatera Utara. Indonesia
Jenis putusan dalam perakara Pidana adalah sebagai berikut:
1.      Putusan Bebas (Vrijspraak)
Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa Jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
2.      Putusan Lepas dari segala Tututan Hukum (Onslagh Van Recht Vervolging)
Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatakan bahwa Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3.      Putusan Penjatuhan Hukuman Pidana

Putusan Penjatuhan Hukuman Pidana dijatuhkan apabila Pengadilan berpendapat bahwa Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Terbukti secara sah dan meyakinkan serta tidak adanya alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar bagi Terdakwa.

Baca juga artikel hukum tentang:

PENEGAKKAN HUKUM MENGGUNAKAN RASIO DAN HATI



Kamis, 17 Juli 2014

PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA

TRIMEN HAREFA SH. Advocat/ Pengabdi Bantuan Hukum
Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.[1]
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Di dalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.
Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.

Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim.

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.

Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.   Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2.   Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.
3.   Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.   Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Pertimbangan hukum seorang hakim tidak kalah penting dibandingkan dengan amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan hukum itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan hukum cukup menjadi alasan untuk diajukan upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
1.   Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;
2.      Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
3.  Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pekakunya;
4.   Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.



[1] Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
[2] Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, hal 94.