Ketajaman penegakkan hukum
di Indonesia masih sebatas harapan kosong belaka, terbukti dengan berbagai
kasus yang timbul sekarang ini seperti di simpan dalam lemari yang sudah kumuh
dan penuh, keluar hingga terlihat publik. Anehnya lagi, para pembesar dan bomber
utama penegakkan hukum ini masih berlagak-lagak anggun depan umum, seperti
suami selingkuh tidak ketahuan istri…haha
Perbuatan asusila ini kurang
di ajar memang!, tapi inilah yang terlihat dalam proses penyelesaian beberapa
kasus khususnya yang menyangkut asusila di negeri ini khususnya pulau nias.
Sudah perbuatannya kurangajar ditanggapi dan dip roses secara kurang di ajar
pula, menyedihkan bukan?
Misalkan saja kasus perzinahan dan mesum di
duga dilakukandi tempat praktek salah satu medik di Foa kecamatan Gido, video
mesum siswa salah satu SMA Negeri di gunungsitoli yang diduga dilakukan di
warnet, video mesum mahasiswa salah satu perguruan tinggi di gunungsitoli dan
lainnya yang telah beredar di tengah-tengah masyarakat, yang merusak
nilai-nilai, Moral dan adat istiadat nias yang terkenal sangat beradab, namun
sampai sekarang hal ini ditanggapi dingin oleh penegak hukum kita, mungkin ini hanya
sebatas film kontroversi yang lulus sensor di mata seorang POLISI yang
mempunyai wewenang khusus dan istimewa dalam melakukan penyelidikkan (pasal 4
dan pasal 5 KUHAPidana).
Hal ini di alasankan kepada
publik sebagai bentuk delik aduan ( yang tidak dapat di tuntut apabila tidak
ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan) sebagai mana tersirat
dalam pasal 284 ayat 2 KUHPidana, berbunyi penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan suami (istri yang mendapat malu dan jika suami (istri) itu berlaku
pasal 27 KUHPerdata (sipil) dalam tempo 3 bulan sesudah pengaduan itu, di ikuti
dengan permintaan akan bercerai atau bercerai tempat tidur dan meja makan
(scheiding van tafel en bad) oleh perbuatan itu juga. Bukankah pasal ini telah
di kesampingkan dengan di sahkannya undang-undang no 44 tahun 2008 tentang
pornografi yang berdasarkan azas Lex specialist derogate lex generalist
tepatnya dalam pasal 8, pasal 9 dan pasal 10 jo, pasal 36, pasal 35, pasal 34 UU/44/2008 tentang
pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 Tahun penjara dan denda maksimal
Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dan untuk penyebar cyberporn akan di
tuntut dengan Pasal-pasal
tentang delik kesusilaan seperti Pasal 282 atau 283 KUHP, Pasal 27 ayat (1) jo.
Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) hingga yang lebih khusus lagi
yakni Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) atau Pasal 32 jo. Pasal 6 UU No. 44 Tahun
2008 (UU Pornografi) bisa saja diterapkan terhadap kasus-kasus cyberporn.
Dalam
laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus tahun
1980 di Semarang, disebutkan tentang kriteria kriminalisasi dan
dekriminalisasi, yaitu Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai/dibenci oleh
masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau
dapat mendatangkan korban; Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang
dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang,
pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku
kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan tertib hukum yang akan dicapai;
Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya;
dan Keempat, apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita
bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan
masyarakat. Sungguh terpenuhi delik aduan dimaksud sebagai Tindak Pidana umum
yang sifatnya luar biasa dan meresahkan kehidupan bermasyarakat dan nilai-nilai
luhur pancasila. Hukum Agama dan Adat apapun jelas dan tegas menentang hal-hal
asusila.
Sungguh
terlalu para penegak hukum kita ini, khususnya Polisi resort Nias yang terkesan
menikmati suburnya tindak pidana cyberporn
di pulau nias yang kita cintai ini. Maju terus otonomi daerah maju pula
gurita berbagai tindak pidana. Nah… bagaimana kasus-kasus ini bisa selesai apabila
ilmu hukum tindak pidana khusus penegak hukum itu sendiri kurang, ataupun
penyelesaiannya secara KUHP saja “Kasih uang Habis Perkara” tanpa melihat
undang-undang yang lebih berkompeten (UU tindak pidana khusus) untuk hal itu.
Sekaranglah penegak hukum dituntut professional dan tegas dalam menantang
berbagai penyakit social kehidupan. Polisi jangan hanya bisa bernyanyi dan
bergoyang ala norman kamaru ataupun
berakrobatik seperti polisi subang terlebih apabila sibuk mengurus rekening
gendutnya saja.
Mari
kita kristis dan peduli dengan semakin merosotnya moral generasi bangsa ini,
miliki dan tumbuhkan Iman, Pengetahuan dan Penguasaan diri yang sungguh. Mari
mulai dari diri sendiri untuk menolak dan ikut membantu para penegakkan hukum
yang masih berfikir rasio serta berkomitmen demi terciptanya kepastian hukum,
keadilan dan kebajikan di tengah-tengah bangsa dan Negara ini.
Demikian
tanggapan, opini dan saran yang sangat sederhana dari penulis yang semata-mata
bertujuan menuntut kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat nias serta
bentuk keprihatinan terhadap fenomena yang terjadi saat ini, sebagai kaum muda
dan intelek, penulis mempunyai tanggungjawab moral terhadap lingkungan dan bumi
dimana kita berpijat! Opini ini tidak semata-mata untuk menyudutkan pihak tertentu ataupun bersifat melawan hukum.
Penulis
: Trimen Harefa
Mahasiswa
fakultas hukum universitas Darma Agung Medan