TRIMEN HAREFA SH. Advocat/ Pengabdi Bantuan Hukum |
Menurut
pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung
tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan
kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic
mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan
kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum
kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk
mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman,
Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam
menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau
memberatkan pelaku. Setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.[1]
Kepastian
hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang
diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus
(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis
menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Di dalam
memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi
pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya
berdasarkan bukti – bukti yang ada.
Secara
normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu
tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang
menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim
tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.[2]
Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga
menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara
jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak
demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di
“pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya
di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan
pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan
dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang
berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan
merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab
dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan
adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk
memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan
mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya
untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun
kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya
Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan
mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan
rasa keadilan.
Tidak semua
Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur
secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu.
Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan
merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang
digunakan Hakim.
Pertimbangan
hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika
argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang
kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan
hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1. Hakim tidak mempunyai cukup
pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif
seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap
pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan
pokok persoalannya di dalam persidangan.
2. Hakim sengaja menggunakan dalil
hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti
adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.
3. Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk
menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya
perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4. Hakim malas untuk meningkatkan
pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang
dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun
cukup menentukan kualitas putusan.
Pertimbangan hukum seorang hakim tidak kalah penting dibandingkan dengan
amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan hukum itulah yang menjadi roh
dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan
hukum cukup menjadi alasan untuk diajukan upaya hukum baik itu banding maupun
kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan
oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada
dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang
dilakukan oleh pelakunya;
2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan
tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana
sebagaimana yang dilakukan oleh pekakunya;
4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu
kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku
tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.