Trimen Harefa_Koleksi Penulis |
Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Ruu KUHP) yang saat ini digodok di DPR
diharapkan mampu menjadi jawaban atas segala kekurangan dan ketertinggalan KUHP
peninggalan kolonial belanda yang sedang di pakai saat ini. KUHP peninggalan
belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat hukum yang terus
berkembang atau yang sering dikenal dengan masyarakat modern. Perkembangan
masyarakat juga menuntut perkembangan hukum yang mengikuti dan bergerak sesuai dengan
masyarakat, sehingga hukum (dalam hal ini hukum pidana) mampu menjadi Social Control. Sehingga apa yang menjadi
cita-cita bangsa dan Negara dalam mewujudkan masyarakat yang aman, tertib, maju
dan berbudaya dapat diwujudkan.
Saat
ini para pakar hukum di Indonesia sedang bekerja keras dalam mengkaji perbuatan
pidana yang di anggap patut untuk di pidanakan menurut undang-undang yang akan
di sahkan nantinya. Tapi apa jadinya jika para pakar tersebut sebagian multi
tafsir akan perkembangan sosial kemasyarakatan Indonesia, tentu saja hal ini
akan berdampak terhadap kualitas dari hukum yang sedang dirancang itu sendiri.
Salah satu hal yang sangat kontroversi dalam Ruu KUHP adalah dimuatnya pasal
santet. Pasal tersebut mengundang banyak kritik khususnya bagi orang-orang dan
organisasi yang berkecipung dalam dunia hukum, salah satunya dari anggota
komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin dan FPDIP Eva
Kusuma Sundari “Kalaupun benda santet seperti paku dan kawat ada tapi bagaimana
materiallnya, bahwa yang mengirim X atau Y?”. (dikutip dari majalah Detik)
Bagi
mereka yang setuju dengan dimasukkannya pasal santet dalam Ruu KUHP antara lain
dari pihak Kepolisian yang diwakili oleh Brigjend Bambang Sri Herwanto yang
menjabat sebagai Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum (karosunluhkum)
mabes polri berpendapat “Bahwa santet merupakan ilmu gaib yang butuh pembuktianyang kongkret, namun jika nantinya di atur, polri siap untuk melaksanakan danberusaha membuktikan soal adanya santet tersebut”.
Ahli
hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir, buru-buru meluruskan
kontruksi hukum pasal 293 Ruu KUHP, “Tak ada istilah pasal santet dalam pasal
293 itu. Menurutnya, pasal itu dikenakan bagi mereka yang menawarkan jasa ilmu
gaib untuk membunuh orang lain. Soal apakah orang itu meninggal karena santet,
itu tak masuk pembuktian hukum. (dikutip dari majalah Detik)
Berangkat
dari uraian diatas, penulis dalam hal ini berkapasitas sebagai mahasiswa hukum
di salah satu universitas swasta di medan dan sekaligus sebagai pribadi yang peduli dengan perkembangan sosial
masyarakat dan perkembangan hukum itu sendiri, memberikan pandangan akan pro
kontranya dimasukkannya pasal santet dalam Ruu KUHP. Santet merupakan kekuatan
roh jahat (ilmu gaib) yang dengan sengaja di miliki oleh seseorang untuk
membuat orang lain menderita, teraniaya dan bahkan meninggal dunia. Santet
merupakan suatu bukti bahwa masyarakat Indonesia masih di pengaruhi oleh
hal-hal gaib dan bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi santet
merupakan bagian dari kegiatan sosial kemasyarakatan yang bertentangan dengan
hukum masyarakat itu sendiri yakni Hukum adat dan juga bertentangan dengan
hukum agama.
Individu
yang memiliki ilmu santet tersebut tidak diterima dengan baik oleh masyarakatnya,
ini adalah sanksi sosial yang didapatkan oleh seseorang yang mempunyai ilmu
santet. Dan dalam hukum agama yang mengajarkan setiap umatnya untuk berbuat
kebajikan akan mendapatkan upah sorgawi dan kehidupan yang kekal di akhir
hidupnya nanti, jadi seseorang yang memiliki ilmu santet sudah barang pasti
upahnya adalah neraka.
Berdasarkan
penjelasan demikian, santet lebih tetapnya diatur sebagai bagian dari hukum
Adat dan hukum agama, jadi sanksinyapun diatur oleh hukum adat masing-masing
daerah serta hukum agamanya masing-masing.
Jika
dalam kontruksi hukum nasional dalam hal ini hukum pidana, ketidakpastiannya
antara lain :
1.
pasal santet adalah pasal yang serba
tanggung pemidanaannya serta sulitnya membuktikan seseorang memiliki dan
mengirimkannya ke orang lain.
2.
Bagaimana merumuskan delik santet
apabila pelakunya hanya melakukan percobaan (pooging), seorang lainnya sebagai turut serta dalam melakukan
kegiatan santet tersebut.
3.
Bagaimana jika kasusnya adalah delneming atau samenloop. Pembuktian masing-masing peran dari pelaku santet ini
sangatlah sulit.
4.
Bagaimana dengan Saksi Ahlinya? Apakah
seseorang juga nantinya akan diangkat dan diberikan sertifikat sebagai ahli
santet?
5.
Bagaimana dengan Penyidiknya, apakah
seorang polisi atau pegawai negeri sipil yang diberikan kewenangan sebagai
penyidik harus mempunyai ilmu santet juga? Tidak mungkin penegak hukum main
tebak-tebakan saja.
Jadi
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pasal santet sangat tidak tepat untuk
dimasukkan dalam Ruu KUHP karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta
mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Akhir kata, semoga para pakar hukum dan
aktivis hukum yang turut serta dalam perumusan Ruu KUHP tersebut diberikan
kebijaksanaan dan pemikiran yang kritis, sehingga Ruu KUHP yang baru dapat
menjadi jawaban dari masalah-masalah sosial masyarakat terutama dalam
lingkungan hukum pidana.
terasa sulit kyknya bg, klo itu terjadi berarti smua para penegak hukum harus belajar ilmu hitam dunk.. haha
BalasHapusArtikelnya mantap bg. by Adil Dly