TRIMEN HAREFA |
Perseteruan antara Polri dan KPK
adalah sebuah gambaran ketidak profesionalisme penegakkan hukum di Indonesia,
kepentingan institusi dan pribadi kerap kali menjadi sebab. Padahal semua telah
di atur di dalam undang-undang yang merupakan acuan dan pijakan kaki dalam
pengambilan keputusan ataupun strategi penyelesaian setiap kasusnya. Hal inilah
yang terjadi antara Polri dan KPK, Polri dan KPK merupakan institusi penegakkan
hukum yang juga merupakan garda terdepan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan
simulator SIM di Mabes Polri, Polri masih
mempermasalahkan hal-hal yang tidak sepantasnya di untuk di permasalahkan misalnya dalam penyitaan barang bukti, dimana
Polri tidak terima dang menghalagi penyidik KPK membawa barang bukti yang
didapatkan dalam penggeledahan di kantor Korlantas, Namun
KPK dianggap menyerobot kesepakatan untuk melakukan pertemuan pada Selasa
(31/7/2012). KPK menggeledah gedung Korlantas Senin (30/7/2012) pukul 16.00
usai para pimpinan melakukan pertemuan pukul 14.00 itu. Menurut Sutarman,
pertemuan para pimpinan di ruang kerja Kapolri tak menyinggung rencana KPK
menggeledah gedung Korlantas Polri. Dalam penjelasan Kabag Reskrim Mabes Polri
Irjend Pol Sutarman memaparkan : "Itu rumahnya orang, yang punya rumahKapolri. Pak Kapolri tidak diberitahu. Samad waktu ketemu Kapolri tidakmenyampaikan penggeledahan. Jam dua ketemu. Jam empat sudah digeledah. Etikaditabrak. MoU ditabrak," terang Sutarman, Jumat (3/8/2012). Padahal dalam
Undang-undang no 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ditegaskan dalam
pasal 50 ayat (3) bahwa “Dalam Hal Komisi Pemeberantasan Korupsi sudah mulai
melakukan penyidikkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikkan”. Kemudian pasal ini
diperjelas dan dipertegas lagi dalam pasal 50 ayat (4) “Dalam hal penyidikan
dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan /atau kejaksaan dan Komisi
Pemeberantasan Korupsi, penyidikkan yang dilakukan oleh kepolisian dan atau
kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Polri masih berpegang
pada MOU yang dibuat bersama KPK dan tidak ingat lagi dengan undang-undang, ini
jelas untuk melindungi institusinya. Saya mengajak anda menggunakan Logika
hukum saja, “Bagaimana mungkin satu perkara, penyidikkannya dibagi dua,
buktinya dibagi dua” jadi bukti dan BAP yang
di dengarkan kebenarannya di Pengadilan siapa? JPUnya siapa, JPU umum atau JPU
KPK? Polri benar-benar salah kaprah dan di buat kebingungan dalam kasus ini.
Seragam Coklatnya lagi-lagi tercoreng.
Dari penjelasan di
atas terlihat jelas bahwa komitmen Polri untuk mendukung dan membersihkan
institusinya dari Tindak Pidana Korupsi masih sebatas harapan kosong. Harapan
besar masyarakat, bangsa dan Negara untuk dapat menekan angka dan memberantas Tipikor
di Negara ini yang semakin merajalela hanya jadi batu sandugan, hanya dongeng
semata, hanya sebatas mimpi yang setelah bangun sudah terlupakan. Penetapan
status tersangka kepada seorang jendral polisi oleh KPK merupakan wujud nyata
komitmen KPK untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi dan sebaliknya ini
gambaran bahwa Polri masih belum punya keinginan besar dan serius dalam
memberantas Tindak Pidana Korupsi. Jendral merupakan pimpinan tertinggi dan
sekaligus teladan anggota-anggota Polri, tapi faktanya semua tidak seperti yang
kita bayangkan, yang terjadi malah jendralnya sendiri tersangkut masalah hukum.
Kasus ini juga dapat
memberikan pemikiran baru terhadap penegakkan hukum di Indonesia, bahwasanya
penanganan Tindak Pidana Korupsi sudah selayaknya dilepaskan dari kewenangan Kepolisian
dan diserahkan penuh kepada KPK sebagai lembaga khusus untuk penaganan Tindak
Pidana Korupsi.
Sungguhpun saat ini
Negara dalam Bahaya besar! Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tindak
terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan barbangsa dan bernegara. Tindak pidana
Korupsi yang meluas dan sistematis ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat! Kedaulatan rakyat di lecehkan! Negara di rugikan!
Ini benar-benar biadab, bukankah mereka telah dijamin dan disejahterkan oleh
Negara, tapi apa balasan itu semua? Siapa yang mau peduli dengan itu?
Saat ini putusan
peradilan Tindak Pidana Korupsi masih belum memenuhi rasa keadilan, kepastian
serta memberikan manfaat yang berarti baik dalam penegakkan hukum itu sendiri
maupun dalam membangun bangsa dan Negara. Dalam Undang-undang nomor 20 Tahun
2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengadopsi hukuman Mati,
tetapi dalam kenyataannya Tuntutan dan vonis penjara seumur hiduppun belum pernah
dilakukan. Fakta persidangan dan pertimbangan hukumpun menjadi alasan untuk itu,
baik oleh Hakim ataupun Jaksa.
Kita tidak pernah berhenti untuk
berjuang, berjuang untuk diri sendiri, untuk keluarga, dan seluruh aspek
kehidupan demikian juga dalam penegakkan hukum, “Harapan yang menjadikan kita
saat ini, Harapan yang menguatkan kita di hari esok. Demikian Harapan begitu
penting dalam Hidup, tidak terkecuali dalam penegakkan hukum”. Semoga Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh KPK dapat bersinergi dan lebih baik
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar