Carut marut hukum di Indonesia masih belum berakhir, setelah
masyarakat Indonesia di gemparkan oleh kasus suap dan korupsi yang melibatkan
oknum Hakim, Jaksa, polisi dan para aparutur negara, saat ini kita dihebohkan
lagi oleh “Eksekusi Jendral polisi Susno Duadji”. Diawali oleh Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap Susno Duadji
yang menimbulkan penafsiran berbeda oleh aparat penegak hukum, termasuk susno
duadji sendiri sebagai mantan jendral polisi sebagai penegak hukum, yang
bersikeras menolak di eksekusi oleh kejaksaan, karena dalam putusan pengadilan
negeri sampai pada putusan mahkamah agung Tidak dicantumkannya perintah penahanan. Kubu Susno
berpatokan pada ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Isinya menyebutkan putusan
batal demi hukum jika tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) k KUHAP. Dalam
Pasal 197 ayat (1) huruf k menyatakan surat pemidanaan di antaranya harus
memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.
Argumentasi hukum yang digunakan pihak Susno untuk menolak eksekusi adalah ketentuan Pasal 197
Ayat (1) huruf k UU Nomor 81 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ketentuan pasal itu menyatakan
bahwa surat pemidanaan harus memuat perintah agar terdakwa ditahan, tetap dalam
tahanan, atau dibebaskan. Pihak Susno menafsirkan, sesuai Pasal 197 Ayat 2,
putusan batal demi hukum jika tak memuat perintah eksekusi.
Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP ini
pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Permohonan diajukan oleh Parlin
Riduansyah. Saat itu, Yusril Izha Mahendra bertindak sebagai kuasa hukumnya.
Dalam
putusan yang dibacakan pada 22 November 2012, MK berpendapat, dalam penjelasan
KUHP disebutkan, apabila terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan
pidana seperti diatur Pasal 197, itu tidak menyebabkan batalnya putusan demi
hukum. Sebagai hamba Tuhan yang tidak sempurna, menurut MK, hakim dapat membuat
kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
"Sungguh sangat ironis bahwa
terdakwa sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak
dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan," demikian bunyi putusan
MK.
MK juga berpendapat, jika perkaranya
berdampak tidak meluas seperti penghinaan, mungkin tidak terlalu merugikan
kepentingan umum jika putusan dinyatakan batal demi hukum. Namun, jika
perkaranya berdampak sangat luas seperti korupsi, tetapi harus batal demi
hukum, pendapat MK, putusan itu akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Pada dasarnya jaksa adalah eksekutor negara dalam hukum yang
memiliki kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, jadi
putusan apapun yang dikeluarkan oleh hakim bersifat mengikat dan final,
sekalipun dalam putusan itu sendiri terjadi kesalahan dalam pengetikan dan
kehkilafan dalam penyusunannya. Hal ini juga di sampaikan oleh WamenkumhamDenny Indrayana, “"Suatu putusan itu tidak dapat dianggap keliru, kecuali oleh
putusan yang lebih tinggi,
kalau pun batal, itu harus dibatalkan melalui pengadilan. Tidak bisa batal hanya berdasarkan pendapat,". Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, “"Itu sudah menjadi keputusan yang mengikat bagi siapapun, apalagi ini sudah diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan eksekusi atas putusan itu. Sehingga supaya tidak terjadi mulitafsir, pertama kejaksaan tetap harus menjalankan apa yang menjadi putusan MA".
kalau pun batal, itu harus dibatalkan melalui pengadilan. Tidak bisa batal hanya berdasarkan pendapat,". Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, “"Itu sudah menjadi keputusan yang mengikat bagi siapapun, apalagi ini sudah diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan eksekusi atas putusan itu. Sehingga supaya tidak terjadi mulitafsir, pertama kejaksaan tetap harus menjalankan apa yang menjadi putusan MA".
Seharusnya hal ini dapat dipahami oleh penasehat hukum susno
duadji dan aparat kepolisian, dalam masalah eksekusi ini, yang bertanggungjawab
secara hukum adalah pihak kepolisian khususnya Polda Jawa Barat yang telah
menghala-halangi proses eksekusi dengan berdalih memberikan perlindungan hukum
kepada susno duadji. Kapolda jawa barat dapat dimintakan pertanggungjawaban
dengan dugaan melanggar pasal 221 KUHPidana dan pasal 421 KUHPidana dengan
kategori Kejahatan. Demikian juga halnya dengan penasehat hukum susno duadji
dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum pidana dengan dugaan melanggar pasal
55, pasal 56 jo pasal 221 KUHPidana dan pasal 421 KUHPidana dan pasal 160
KUHPidana tentang Penghasutan yang kesemuanya adalah delik Kejahatan.
Perlindungan hukum yang diberikan polisi kepada susno duadji
bersalah secara hukum, karena kejaksaan adalah perangkat hukum Negara yang
melaksanakan tugas kenegaraan dan sesuai dengan perintah undang-undang dan
merupakan bagian dari diskresi penegak hukum khususnya kejaksaan.
Dalam kasus ini, disadari betapa buruknya kualitas para
penegak hukum kita di Indonesia, bagaimana mungkin bunyi pasal 197 KUHAP yang
sudah sangat jelas bunyinya tapi tidak dilengkapi dalam membuat putusan. Yang
paling bertanggungjawab dalam kesalahan ini adalah Hakim dan panitera yang ikut
dalam pemeriksaan perkara ini, sehingga putusan menjadi cacat hukum. Sungguhpun
demikian putusan yang sudah diucapkan didepan pengadilan secara terbuka untuk
umum tidak dapat dibatalkan kecuali lembaga pengadilan yang lebih tinggi.
Sebagai generasi penegak hukum, mahasiswa tidak boleh lengah
dan bersantai dalam memasuki dunia hukum yang penuh carut marut, jangan
main-main dalam menafsirkan pasal demi pasal. Karena dalam hukum yang
dipertaruhkan adalah nasib seseorang, hak azasi manusia serta masa depan bangsa
dan negara.
Baca juga artikel hukum: