"Berbagi Itu Indah"

Blog ini merupakan media untuk berbagi. Sebuah catatan dan karya pribadi yang bebas dari PLAGIAT. Jika anda ingin mengcopy tulisan di blog ini, harap untuk selalu memberikan Link dari tulisan yang anda copy. Terima kasih... semoga bermanfaat

Selasa, 31 Mei 2011

Penegakkan Hukum yang Bermoral


Urgensi Hukum Progresif Sebagai Usaha Reformasi Lembaga Penegak Hukum Dalam Menciptakan Sistem Hukum yang Bermoral....


Negara indonesia adalah negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam negara kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum memilki peran strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum diperlukan baik norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang professional, berintegritas dan berdisplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat.
Istilah negara hukum,  rechtsstaat, the rule of law , ataupun istilah lainnya sangatlah sering digunakan dalam kepustakaan Indonesia. Upaya untuk menunjukkan kekhasan keindonesiaannya dilakukan dengan menambahkan atribut Pancasila di depan negara hukum sehingga menjadi negara hukum Pancasila. Oleh karena itu dapat kita fahami bersama bahwa paham negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah bahwa negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya menuju cita-cita ideal berlandaskan filosofis pancasila yakni bagaimana suatu hukum mampu membahagiakan rakyatnya.
Apabila kita sejenak memperhatikan di media cetak atau pun di internet, akan sangat jelas tergambarkan bahwa negara hukum dengan sistem hukumnya yang dijalankan sampai saat ini belum mampu membahagiakan rakyatnya, malah sebaliknya sering kita lihat bagaimana rakyat kecil ditindas oleh hukum di negranya sendiri yang notabene mereka harus dilindungi dan dibahagiakan, sementara para birokrat dan pejabatnya menjadikan hukum di negaranya sebatas alat untuk membehagiakan dirinya sendiri, para pejabat tidak berhati nurani itu memnfaatkan sistem hukum ideal yang ada menjadi sistem hukum yang justru menindas dan dijadikan alat memperkaya diri sendiri.
Salahsatu permasalahan utama bagaimana negara hukum Indonesia sekarang belum membahagiakan rakyatnya adalah semakin maraknya mafia-mafia hukum dan para koruptor di negeri berbagai kasus makelar kasus, hakim yang disuap, kepala daerah yang korupsi dan masih banyak lagi kasus yang menunjukkan bukti mafia hukum di negeri ini masih sulit untuk diberentas. Kita melihat begitu mudahnya menginterpensi suatu pengadilan yang notabene adalah lembaga penegak hukum yang berwibawa. Inilah sisi lain kotornya sistem hukum kita yang tidak bermoral.
Data dari Indonesian Corruption Watch selama tahun 2009 misalnya, menunjukkan semakin eksisnya mafia-mafia hukum baik di Kepolisisan, kejaksaan, apalagi di Pengadilan salah satunya kita dapat lihat dari trend putusan yang dijatuhkan para Hakim di Pengadilan. Pengadilan Umum misalnya, masih terus menjadi surga vonis ringan bagi terdakwa korupsi. Data ICW menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2009 dari 199 perkara kasus korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Sebanyak 224 terdakwa (59,26 %) divonis bebas oleh pengadilan, tentu ini sangatlah disayangkan disaat masyarakat rindu dengan hakim-hakim di pengadilan yang mampu keluar dari kebiasaan putusan bebas apalagi terhadap kasus korupsi. Data di atas hanyalah sebahagian kecil dari berbagai macam praktek mafia hukum yang terjadi di negeri ini, lalu timbul pertanyaan apa sebenarnya yang terjadi dan apa yang menyebabkan ini bisa terjadi ?
Ada sebuah kesalahan dalam cara berhukum para aparat penegak hukum sekarang ini, jadi yang rusak bukanlah Lembaga penegak hukum itu tapi orang yang ada di dalmnya.   Mereka terlalu rasionalitas dan kekaguman terhadap positivstiknya suatu undang-undang yang notabene pun diciptakan untuk mengatur dan membahagiakn masyarakat. Proses hukum lebih nampak sebagai “mesin peradilan” yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan aturan main yang secara formal ditetapkan dalam peraturan. Sungguh sangat miris keadaan demikian telah menyebabkan berbagai ketidakberdayaan dalam proses penegakan hukum. ketidakberdayaan tersebut dapat berupa ketidakberanian untuk mengambil sikap atau pilihan tindakan yang secara formal bertentangan atau tidak ada aturannya dalam undang-undang, ketidakmampuan untuk secara kreatif menafsirkan undang-undang dalam penyelesaian perkara baru yang belum ada aturannya, dan ketidakmampuan/ketidakmauan untuk membuat terobosan-terobosan atau inovasi-inovasi dalam pemaknaan sebuah aturan dalam undang-undang untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Dalam mengahadapi realitas tersebut kita perlu mencari sebuah solusi dalam manangani permasalahan-permasalahan mafia hukum yang semakin marak di negeri ini. Cara-cara berfikir yang bersifat “out of the box” dan cara-cara berhukum yang inovatif dan harus sering kali keluar dari kelaziman tersebut merupakan bagian dari solusi kegelisahan dalam menghadapi keberadaan hukum yang sulit dijadikan sarana untuk mewujudkan kadilan bagi masyarakat yang lemah. Hingga apada akhirnya gagasan hukum Progresif yang dilansir oleh sang Begawan hukum Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. dimunculkan penulis sebagai solusi reformasi lembaga penegak hukum untuk memberantas mafia hukum di Indonesia yang semakin marak dan sistemik ini demi terciptanya sistem hukum yang lebih bermoral, hal ini tidak lain tujuannya adalah agar suatu negara hukum mampu membahagiakan rakyatnya.

Munculnya gagasan hukum Progresif
Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia adalah yang terburuk di seluruh dunia. Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah semakin tak berdayanya hukum Indonesia dalam upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Prinsip utama yang dijadikan landasan Hukum progresif adalah “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin menggeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu dalam proses menjadi (Law as process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Berdasarakan uraian di atas sangatlah jelas kita dapat melihat perbedaan yang jauh antara hukum Progresif dengan hukum moderen yang dipakai saat ini, yang hanya bercirikan Rule of Law berupa formal Rules atau tertulis dalam bentuk Peraturan perundang-undangan, procedurs atau dilaksanakan melalui aturan main yang ketat, methodologist atau mendewakan logika dalam penerapannya, dan bureaucreacy atau hanya lembaga-lembaga formal yang diakaui memilki otoritas untuk membuat, melaksanakan, dan mengawasi hukum.
Dari penjelasan gagasan hukum progresif oleh Prof Tjipt Dapat disimpulkan pula bahwa masalah interpretasi dan penafsiran menjadi sangat urgent dalam pemberdayaan hukum progresif dalam rangka untuk mengatasi keterpurukan lembaga penegak hukum. Penafsiran dan interpretasi dalam hukum progresif tidak terbatas pada konvensi-konvensi yang selama ini diunggulkan seperti penafsiran gramatikal, sejarah, sistemik, dan sebagainya, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan dan “lompatan” pemaknan hukum menjadi sebuah konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan.

Hukum progresif dan reformasi lembaga penegak hukum
Yang menjadi prinsip suatu hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya, artinya segala proses berhukum adalah faktor manusianya. Hubungannya dengan reformasi lembaga penegak hukum adalah terjadinya ketidakberesan dengan moralitas arang-orang yang lembaga penegak hukum di negeri ini, namun tidak sedikit dari mereka ada pula yang berani ber hukum progresif, ini yang perlu dilanjutkan. Perlu adanya sikap progresif dalam memahami setiap perkara agar nenar-benar adil bagi setiap masyarakat. Korupsi misalnya, data ICW diatas menunjukkan bahwa ada seseuatu yang salah dari begitu banyaknya putusan bebas yang dijatuhkan oleh lembaga penegak hukum yakni pengadilan. Inilah yang perlu direformasi. Lalu timbul suatu  pertanyaan bagian mana yang perlu direformasi dari suatu lembaga penegak hukum ?
Perilaku manusianya, itulah yang paling urgent untuk direformasi, setiap aparat penegak hukum harus mampu memamahami hukum progresif sebagai suatu hukum yang mampu berfikir out of the box atau berfikir inovatif dalam menjalankan hukum, tidak dengan hanya mendasarkan pada bunyi undang-undang. Dan ini harus dilaksanakan mulai dari tingkat penyidikan, penyelidikan, sampai pada penuntutan. Pemaknaan hukum progresif sangatlah penting bagi aparat penegak hukum dalam rangka reformasi lembaga penegak hukum, karena lembaga penegak hukum inilah yang menjadi the guardian of justice ketika orang-orang atau aparat yang menjalanknnya bermoral buruk maka sistem hukum kita pun tidak akan bermoral yang akhirnya akan menghasilakn ketidakadilan di dalam masyarakat.
Kasus korupsi misalnya, yang merupakan tanggungjawab penanganan oleh Kepolisian, KPK, Kejaksaan sampai pada pengadilan Tipikor, lembaga penegak hukum ini harus mampu memaknai hukum progresif agar persoalan korupsi ini bisa di atasi. Prof  Tjipt (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif aparat kejaksaan, kepolisisan dan KPK untuk mengungkap kasus korupsi sangat di nantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani, Indonesia juga membutuhkan penegakan  hukum yang progresif sebagaimana yang ditengarai oleh Prof Tjipt berangkat dari kekecewaan masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk meminimalisasikan tindak pidana korupsi yang dijuluki extra ordinary crime ini.
Oleh karena itu dapat disimpulkan di sini bahwa reformasi lembaga penegak hukum sesungguhnya adalah bagaimana mereformasi aparat yang menjalankan lembaga tersebut, pemaknaan hukum progresif bagi aparat penegak hukum agar mampu berfikir hukum progresif, jangan sampai hanya bersifat positivistik yang terlalu berdasarkan kepada Undang-undang belaka yang merupakan produk hukum liberal Eropa dan terbukti tidak mampu membahagiakan rakyat Indonesia sampai saat ini. Kita butuh jaksa-jaksa progresif, polisi-polisi progresif, dan hakim-hakim progresif, wacana hukum progresif mudah-mudahan mampu menjadi dobrakan utama reformasi lembaga penegak hukum, karena bagaimanapun untuk merubah sistem hukum kita agar lebih bermoral, maka yang harus dirubah adalah orang-orang yang menjalankan hukum itu atau lembaga itu terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar