"Berbagi Itu Indah"

Blog ini merupakan media untuk berbagi. Sebuah catatan dan karya pribadi yang bebas dari PLAGIAT. Jika anda ingin mengcopy tulisan di blog ini, harap untuk selalu memberikan Link dari tulisan yang anda copy. Terima kasih... semoga bermanfaat

Senin, 24 Agustus 2015

MORALITAS DAN INTEGRITAS FONDASI MEMBANGUN KOTA GUNUNGSITOLI


Moralitas dan Integritas adalah fondasi atau dasar membangun Kota Gunungsitoli yang maju dan sejahtera, bagaimana tidak... di usia Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 70 Tahun ini, Indonesia akan semakin banyak kaum intelektual dan cerdas, Kita (Indonesia) akan semakin ikut bersaing dengan dunia tentang teknologi canggih dan pengetahuan baru tidak terkecuali dengan Kota Gunungsitoli. Saat ini lulusan strata satu sampai magister dari berbagai disiplin ilmu sudah lumayan banyak dan akan terus bertambah seiring meningkatnya kesadaran masyarakat Kota Gunungsitoli pentingnya pendidikan.
Kondisi ini tentu membawa dampak positif yang cukup baik untuk kemajuan dan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tetapi apakah dengan pendidikan dan pengetahuan yang tinggi menjadi dasar Pembangunan Kota Gunungsitoli? Jawabannya tentu tidak. Peningkatan kualitas SDM memang penting, tetapi yang paling hakiki adalah Moralitas dan Integritas.
Harus diakui bahwa untuk Kota ini (Gunungsitoli) maju, masyarakatnya sejahtera dan masuk dalam kategori Kota teladan, maka kita membutuhkan sosok pemimpin yang punya Moral dan Integritas yang cukup tinggi. Bukan hanya sekedar mampu bekerja, tetapi juga ikut merasakan penderitaan serta mengerti harapan masyarakat Kota Gunungsitoli. Jika orientasinya hanya bekerja dan bekerja, dari tahun penjajahan kita juga sudah Kerja Keras! Bahkan sampai saat sekarang ini kita masih bekerja keras, persoalan kemiskinan juga belum mampu dituntaskan dan diselesaikan. Dunia mungkin kaya akan kaum intelektual dan cerdas tetapi dunia juga semakin dikuatirkan akan semakin merosotnya moralitas dan integritas manusia. Misalkan saja Kesemrawutan penataan Kota dan lalu lintas yang dapat dilihat dan disaksikan langsung dengan mata telanjang, sudah menjadi hal yang biasa saja bagi masyarakat pada umumnya, tetapi tidak dengan Komunitas Ono Niha Peduli.
Pemimpin yang punya moral dan integritas mampu mendefenisikan semua permasalahan Kota Gunungsitoli ini, mulai dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, pengangguran, tidak maksimalnya pelayanan publik, serta termasuk kepedulian terhadap kemajuan dan peningkatan peran serta pemuda dalam membangun daerah.
Pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 70 Tahun ini khusus di Kota Gunungsitoli yang juga diiringi dengan semangat demokrasi yakni menyongsong pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, jujur dan rahasia, Komunitas Ono Niha Peduli mengharapkan lahirnya pemimpin yang punya Moral dan Integritas yang kuat, sehingga tulisan manis yang terangkai dalam Visi dan Misi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat terwujud dan terealisasi dengan baik.

Pada kesempatan ini, Komunitas Ono Niha Peduli mengajak seluruh elemen masyarakat, Tokoh masyarakat, Pemuda, akademisi dan kaum intelektual untuk tetap semangat menjujung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan ingat selalu semoboyan kita masih tetap Bhineka Tunggal Ika. Wahai rekan-rekan Pemuda... jangan goyah hatimu, apalagi mundur, perjuangan kita belum usai, perjuangan kita semakin sulit, yakni melawan keinginan daging dan tawaran-tawaran untuk berkompromi menggerogoti keuangan dan kekayaan daerah ini. Tugas kita menumpas tuntas orang-orang cerdas dan tidak bermoral, yang berusaha berkompromi membentuk kekuatan untuk sebuah tahta, harta dan ketenaran. Rekan-rekan Pemuda,.. Kejarlah pendidikan setinggi mungkin, ikuti juga perkembangan sosial tetapi jangan tinggal budayamu!. Tetap semangat, kritis dan menjadi cerdas! Salam Kanopi! Merdeka!.

Selasa, 05 Mei 2015

KELEMAHAN PENYUSUNAN RANPERDA DALAM PRAKTIK

Ruang Paripurna DPRD Kota Gunungsitoli
1.   Pemilihan kata dan Kalimat dalam peraturan sangat penting. Kalimat yang dipilih adalah penentu segala tindakan subjek yang diatur. Sebab, bahasa peraturan adalah bahasa hukum yang cenderung tunggal dan tidak multitafsir. Semakin lentur tafsir kata yang dipilih semakin besar potensi aturan itu tidak bisa dijalankan. Apalagi kalau kata yang dipilih salah.

2.  Kesalahan dalam merujuk dan atau mimilih Dasar Hukum Ranperda yang dimuat dalam Konsiderans ataupun peraturan tidak merujuk sama sekali aturan yang lebih tinggi meskipun materi yang diatur sama.

3.    Dinamika pembahasan sering kali  mengubah posisi norma dari pasal tertentu ke pasal lain. Kesalahan rujukan bisa membuat pasal tertentu tidak bisa dijalankan serta mengubah rujukan Pasal tersebut kepasal lainnya.

4.    Kesalahan dalam bentuk Peraturan.

5.    Subjek yang diatur bukan domain Peraturan Daerah.

6.  Pengaturan norma hukum pidana sebagai salah satu materi yang melengkapi sebuah Rancangan Peraturan Daerah sebagai antisipasi kemungkian terjadinya penyalahgunaan Lambang Daerah. Pengaturan Norma Hukum Pidana dalam sebuah Ranperda adalah sah-sah saja, sepanjang regulasi tersebut Pengaturannya jelas, memiliki dasar hukum, penjabaran unsur serta klasifikasi perbuatan yang dihukum itu juga jelas. Mengadopsi Sanksi Pidana dari Hukum Pidana Kodifikasi maupun dari delegasi Undang-undang disebut sebagai kriminalisasi Hukum Pidana. Dalam Kriminalisasi Hukum Pidana tersebut ada beberapa hal yang patut untuk diperhatikan misalnya, penggunaan sanksi pidana sebagai Ultimum Remidium, harus mengandung unsur subsosialitet serta mendapat respon dan dukungan dari masyarakat.


7.    Ranperda meruapakan Copy Paste dari Peraturan Daerah pada Daerah Lainnya dan atau Peraturan yang lebih tinggi. Mengadopsi bahasa Undang-undang yang lebih tinggi tidak salah namun perlu persesuaian dengan substansi dan runag lingkup Peraturan Daerah, sehingga materinya tidak umum lagi namun sudah lex spesialis.

Senin, 10 November 2014

UNSUR "BARANG SIAPA" KELIRU, DAPAT MENGAKIBATKAN DAKWAAN TIDAK DAPAT DITERIMA

Ada dua kemungkinan jika kualitas subjek hukum yang diajukan mengandung kekeliruan antara lain dengan cara menyatakan unsur “setiap orang” tidak terpenuhi, sehingga terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan Penuntut Umum, namun hal itu mengandung sedikit pergesekan dengan pengertian putusan bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas itu dijatuhkan jika kesalahan terdakwa atas “perbuatan” yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sedangkan unsur “setiap orang” dalam rumusan pasal bukanlah bagian dari unsur perbuatan, sehingga tidak terbuktinya unsur “setiap orang” sulit untuk disimpulkan sebagai alasan yang bisa membebaskan terdakwa, hal ini pernah terjadi pada perkara pembunuhan Udin wartawan bernas, dimana terdakwa Iwik diputus bebas dengan alasan tidak terbukti unsur “barangsiapa” yang sempat menjadi kontroversi.
Kemungkinan lain bahwa kekeliruan dalam unsur “setiap orang” itu bisa diakomodir melalui ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, diamana hakim dapat menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima. Menurut M. Yahya Harahap ada beberapa keadaan yang dapat dipandang bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima antara lain karena:
a.       Tindak pidana yang didakwakan sedang bergantung pemeriksaannya
b.      Orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru
c.       Sistematika dakwaan keliru
d.      Bentuk dakwaan yang diajukan keliru
Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah hakim tetap berwenang untuk menentukan dakwaan tidak dapat diterima dengan alasan adanya kekeliruan dalam unsur “setiap orang”, meskipun tanpa adanya eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa? dengan berpegang teguh pada prinsip bahwa prosedur penyelesaian perkara pidana harus dilakukan secara tepat dan sempurna, maka meskipun tidak ada eksepsi dari terdakwa/penasehat hukum seyogyanya hakim tetap berwenang untuk menyatakan suatu dakwaan tidak dapat diterima untuk menghindari pelanggaran HAM bagi orang yang diajukan kepersidangan dengan dakwaan yang tidak cermat.
Menyangkut amar putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima bisa kita temukan dalam Putusan Peninjauan Kembali MA-RI Nomor: 13 PK/Pid/2011. Majelis Hakim PK menyatakan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat diterima, dengan alasan Penuntut Umum tidak cermat dalam membuat surat dakwaan yang tidak mempergunakan Undang-Undang Pers yang sifatnya khusus. Putusan PK tersebut bisa menjadi dasar bahwa kekeliruan dalam menerapkan undang-undang dapat menjadi alasan suatu dakwaan tidak dapat diterima. Kekeliruan dalam menerapkan UU Perlindungan Anak terhadap seorang anak sesungguhnya mengandung persoalan yang hampir mirip, hanya perbedaannya bahwa disini Penuntut Umum telah tidak cermat dalam menggunakan undang-undang yang seharusnya hanya diberlakukan terhadap orang dewasa.


Kamis, 06 November 2014

JENIS PUTUSAN DALAM PERAKARA PIDANA

Trimen Harefa. Advokat/ Pengabdi Bantuan Hukum di YLBH-RI Medan, Sumatera Utara. Indonesia
Jenis putusan dalam perakara Pidana adalah sebagai berikut:
1.      Putusan Bebas (Vrijspraak)
Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa Jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
2.      Putusan Lepas dari segala Tututan Hukum (Onslagh Van Recht Vervolging)
Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatakan bahwa Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3.      Putusan Penjatuhan Hukuman Pidana

Putusan Penjatuhan Hukuman Pidana dijatuhkan apabila Pengadilan berpendapat bahwa Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Terbukti secara sah dan meyakinkan serta tidak adanya alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar bagi Terdakwa.

Baca juga artikel hukum tentang:

PENEGAKKAN HUKUM MENGGUNAKAN RASIO DAN HATI



Kamis, 17 Juli 2014

PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA

TRIMEN HAREFA SH. Advocat/ Pengabdi Bantuan Hukum
Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.[1]
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Di dalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.
Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.

Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya. Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim.

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.

Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.   Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2.   Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.
3.   Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.   Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Pertimbangan hukum seorang hakim tidak kalah penting dibandingkan dengan amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan hukum itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan hukum cukup menjadi alasan untuk diajukan upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
1.   Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;
2.      Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
3.  Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pekakunya;
4.   Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.



[1] Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
[2] Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, hal 94.

Selasa, 03 Desember 2013

PERKEMBANGAN HUKUM KESEHATAN

Rumah Sakit Umum Daerah Gunungsitoli
Dalam Perkembangan terakhir ini, semakin menunjukkan bahwa pelayanan rumah sakit telah bergeser dari lembaga sosial menjadi lembaga usaha yang menjanjikan. Apalagi Rumah sakit yang didirikan dan dikelola oleh pihak-pihak swasta, rumah sakit telah dijadikan sebaga badan usaha yang mencari keuntungan (profit making).

Menurut Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 33 dikatakan :
"Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan yang dibutuhkan".


Kompetensi ini lah yang menjadi pedoman yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang menyediakan fasilitas kesehatan dan untuk mendapatkan kompetensi ini diperlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Pasal 8 ayat (2) Permenkes RI Nomor 532 Tahun 1982, untuk memperoleh ijin dari Menteri Kesehatan, Rumah sakit (RS) yang dimiliki dan diselenggarakan oleh badan hukum. Jadi Rumah sakit merupakan subjek hukum sebaga Badan Hukum bukan Individu. Adapun hubungan rumah sakit sebagai badan hukum adalah : Rumah sakit sebagai Badan Usaha yang bergerak dibidang jasa, dokter, perawat dan bidan adalah pekerjanya.

Menurut undang-undang korporasi tanggungjawab dalam sebuah korporasi dibebankan kepada pimpinan korporasi tersebut bukan kepada pekerjanya. Jika pekerjanya bersalah dan merugikan klien atau customer ataupun konsumen dari sebuah korporasi maka pekerja tersebut menerima sanksi dari korporasi (Rumah sakit). Tanggungjawab pemerintah dan pimpinan rumah sakit terhadap tenaga kesehatan di Indonesia belum maksimal dirasakan oleh tenaga kesehatan, masih banyak dokter yang dituntut dipengadilan karena tuduha malpraktik dalam rumah sakit.


Semoga dengan adanya putusan MA tentang kasus dr. Ayu di manado dapat menjadi perhatian serius bagi pakar dan pembentuk hukum serta peraturan perundang-undangan, bahwa hukum kesehatan tidak sama dengan hukum pidana dan perdata. Hukum kesehatan adalah sebuah hukum khusus (lex Spesialist) yang dapat mengesampingkan hukum pidana dan perdata. Ada banyak pasal dan rumusan hukum dalam hukum pidana indonesia yang tidak sama dengan pola pemikiran dalam hukum kesehatan.

Tenaga kesehatan saat ini membutuhkan sebuah peraturan perundang-undangan yang pada pokoknya bersifat memperjelas hubungan dan tanggungjawab antara rumah sakit, tenaga kesehatan dan pasien. Serta prosedur dari penanganan dugaan tindak pidana malpraktik dalam rumah sakit. Dan pengesahan undang-undang keperawatan RI.

Hal ini adalah sebuah kebutuhan yang sangat vital dalam perkembangan dunia medis di Indonesia. Tanpa hukum yang jelas, mustahil tujuan dan cita-cita bangsa ini dapat tercapai.

Tidak ada yang membenarkan seorang bersalah dihadapan hukum termasuk dokter. Dokter Indonesia sampai sekarang belum sepenuhnya mendapat perlindungan hukum dari pemerintah. Terlebihi dokter dalam perspektif hukum perdata, wajib dilindungi oleh Badan hukum pemakai jasa. Jika itu di RSUD maka kepala daerah atau direktur RS nyalah yang di bui dan digugat bukan dokternya. (Mengacu pada UU korporasi)

Aksi mogok yang dilakukan dokter tgl 27 November 2013 sebagai reaksi keras atas putusan kasasi di MA adalah sebuah Perbuatan yang kurang bijaksana dan sangat keliru. Menghina martabat dan profesi sendiri. Putusan pengadilan yang telah menadapatkan kekuatan hukum tetap wajib di eksekusi. Jika salah satu pihak tidak terima hasil putusan silahkan melakukan perlawanan lewat Upaya Hukum Luar Biasa alias PK bukan malah mogok.

Selasa, 30 April 2013

EKSEKUSI JENDRAL SUSNO DUADJI


Carut marut hukum di Indonesia masih belum berakhir, setelah masyarakat Indonesia di gemparkan oleh kasus suap dan korupsi yang melibatkan oknum Hakim, Jaksa, polisi dan para aparutur negara, saat ini kita dihebohkan lagi oleh “Eksekusi Jendral polisi Susno Duadji”. Diawali oleh Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap Susno Duadji yang menimbulkan penafsiran berbeda oleh aparat penegak hukum, termasuk susno duadji sendiri sebagai mantan jendral polisi sebagai penegak hukum, yang bersikeras menolak di eksekusi oleh kejaksaan, karena dalam putusan pengadilan negeri sampai pada putusan mahkamah agung Tidak dicantumkannya perintah penahanan. Kubu Susno berpatokan pada ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Isinya menyebutkan putusan batal demi hukum jika tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) k KUHAP. Dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k menyatakan surat pemidanaan di antaranya harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Argumentasi hukum yang digunakan pihak Susno untuk menolak eksekusi adalah ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k UU Nomor 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ketentuan pasal itu menyatakan bahwa surat pemidanaan harus memuat perintah agar terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan. Pihak Susno menafsirkan, sesuai Pasal 197 Ayat 2, putusan batal demi hukum jika tak memuat perintah eksekusi.
Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Permohonan diajukan oleh Parlin Riduansyah. Saat itu, Yusril Izha Mahendra bertindak sebagai kuasa hukumnya. 
            Dalam putusan yang dibacakan pada 22 November 2012, MK berpendapat, dalam penjelasan KUHP disebutkan, apabila terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan pidana seperti diatur Pasal 197, itu tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Sebagai hamba Tuhan yang tidak sempurna, menurut MK, hakim dapat membuat kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
"Sungguh sangat ironis bahwa terdakwa sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan," demikian bunyi putusan MK.
MK juga berpendapat, jika perkaranya berdampak tidak meluas seperti penghinaan, mungkin tidak terlalu merugikan kepentingan umum jika putusan dinyatakan batal demi hukum. Namun, jika perkaranya berdampak sangat luas seperti korupsi, tetapi harus batal demi hukum, pendapat MK, putusan itu akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat. 
Pada dasarnya jaksa adalah eksekutor negara dalam hukum yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, jadi putusan apapun yang dikeluarkan oleh hakim bersifat mengikat dan final, sekalipun dalam putusan itu sendiri terjadi kesalahan dalam pengetikan dan kehkilafan dalam penyusunannya. Hal ini juga di sampaikan oleh WamenkumhamDenny Indrayana, "Suatu putusan itu tidak dapat dianggap keliru, kecuali oleh putusan yang lebih tinggi, 
kalau pun batal, itu harus dibatalkan melalui pengadilan. Tidak bisa batal hanya berdasarkan pendapat,". Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, “"Itu sudah menjadi keputusan yang mengikat bagi siapapun, apalagi ini sudah diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan eksekusi atas putusan itu. Sehingga supaya tidak terjadi mulitafsir, pertama kejaksaan tetap harus menjalankan apa yang menjadi putusan MA".
Seharusnya hal ini dapat dipahami oleh penasehat hukum susno duadji dan aparat kepolisian, dalam masalah eksekusi ini, yang bertanggungjawab secara hukum adalah pihak kepolisian khususnya Polda Jawa Barat yang telah menghala-halangi proses eksekusi dengan berdalih memberikan perlindungan hukum kepada susno duadji. Kapolda jawa barat dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan dugaan melanggar pasal 221 KUHPidana dan pasal 421 KUHPidana dengan kategori Kejahatan. Demikian juga halnya dengan penasehat hukum susno duadji dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum pidana dengan dugaan melanggar pasal 55, pasal 56 jo pasal 221 KUHPidana dan pasal 421 KUHPidana dan pasal 160 KUHPidana tentang Penghasutan yang kesemuanya adalah delik Kejahatan.
Perlindungan hukum yang diberikan polisi kepada susno duadji bersalah secara hukum, karena kejaksaan adalah perangkat hukum Negara yang melaksanakan tugas kenegaraan dan sesuai dengan perintah undang-undang dan merupakan bagian dari diskresi penegak hukum khususnya kejaksaan.
Dalam kasus ini, disadari betapa buruknya kualitas para penegak hukum kita di Indonesia, bagaimana mungkin bunyi pasal 197 KUHAP yang sudah sangat jelas bunyinya tapi tidak dilengkapi dalam membuat putusan. Yang paling bertanggungjawab dalam kesalahan ini adalah Hakim dan panitera yang ikut dalam pemeriksaan perkara ini, sehingga putusan menjadi cacat hukum. Sungguhpun demikian putusan yang sudah diucapkan didepan pengadilan secara terbuka untuk umum tidak dapat dibatalkan kecuali lembaga pengadilan yang lebih tinggi.
Sebagai generasi penegak hukum, mahasiswa tidak boleh lengah dan bersantai dalam memasuki dunia hukum yang penuh carut marut, jangan main-main dalam menafsirkan pasal demi pasal. Karena dalam hukum yang dipertaruhkan adalah nasib seseorang, hak azasi manusia serta masa depan bangsa dan negara.

Baca juga artikel hukum:

UPAYA PELEMAHAN HUKUM