"Berbagi Itu Indah"

Blog ini merupakan media untuk berbagi. Sebuah catatan dan karya pribadi yang bebas dari PLAGIAT. Jika anda ingin mengcopy tulisan di blog ini, harap untuk selalu memberikan Link dari tulisan yang anda copy. Terima kasih... semoga bermanfaat

Selasa, 21 Juni 2011

HUKUM PIDANA IBARAT PEDANG BERMATA DUA!!!

KOLEKSI PENULIS
HATI-HATI MENGGUNAKAN HUKUM PIDANA!
 Dalam berbagai literatur pelajaran hukum pidana sering tertulis ungkapan klasik yang mengibaratkan hukum pidana sebagai “pedang bermata dua”, untuk menjelaskan bahwa hukum pidana di satu sisi  berfungsi melindungi manusia sebagai anggota masyarakat, namun di sisi lain dengan sanksinya yang berupa nestapa, berarti hukum pidana juga “melukai” kemanusiaan itu sendiri.
Dari berbagai media nampak bahwa kini ada kecenderungan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Bila dikaitkan dengan pemahaman kejahatan sebagai “pelanggaran terhadap hukum negara”, maka fungsionalisasi hukum pidana melalui alat negara terhadap pelaku kriminal nampak sah-sah saja. Dalam hal ini hukum negara dipahami sebagai hukum yang dibentuk untuk melindungi masyarakat sehingga tercipta suasana tertib dan aman (dalam konteks hukum pidana: aman dari ancaman kejahatan) dalam rangka mencapai tujuan kesejahteraan sosial.
Persoalannya menjadi berbeda ketika dalam “hukum negara” terkandung berbagai kepentingan untuk melindungi kekuasaan, maka penerapan hukum pidana dengan dalih untuk menegakkan hukum negara sangat potensial menghasilkan putusan yang timpang, terutama bila hukum pidana dimanfaatkan oleh pihak yang kuat (the have) dalam kasus yang bersumber dari konflik antara “wong cilik” dengan pihak kekuasaan.

Konsep Berhukum yang Positivistik

Belum hilang dalam ingatan kita kasus Mbah Minah yang dipidanakan karena dilaporkan oleh Perusahaan Perkebunan dengan tuduhan mengambil tiga buah Kakao, kasus Lanjar yang diperkarakan dalam peradilan pidana karena dituduh mengakibatkan istrinya meninggal lantaran sepeda motornya menabrak mobil milik anggota kepolisian, kasus Prita yang diseret di meja hijau karena keluhannya dianggap pencemaran nama baik oleh RS Omni Internasional, kriminalisasi petani yang memperjuangkan tanah dari penyerobotan pemilik modal, dan akhir-akhir ini adalah kasus kriminalisasi yang dialami oleh Nenek Soetarti Soekarno (78th) dan Nenek Roesmini (77th) lantaran dianggap membangkang dari surat perintah pengosongan rumah oleh Perum Pegadaian. Dalam kasus-kasus tersebut hukum pidana lebih nampak sebagai alat untuk menumpas anggota masyarakat yang dipandang mengancam kepentingan kekuasaan dari pada sebagai sarana untuk melindungi kehidupan masyarakat. Untuk menghindari “kesesatan” dalam penerapan hukum pidana, maka perlu adanya perubahan paradigma dalam cara berhukum agar tidak terjebak dalam arus positivisme yang semakin tidak mampu dijadikan pijakan dalam mewujudkan keadilan yang substansial.
Dalam kasus terakhir sebagaimana yang dialami oleh kedua nenek malang tersebut, sikap dan cara pandang hukum yang bersifat legal-positivistik amat nampak pada diri Jaksa Ibnu Su’ud. Dalam berbagai media Jaksa Penuntut Umum bersikukuh untuk menuntut kedua nenek tersebut dengan dalih “untuk menegakkan hukum negara”. Hukum negara yang dimaksud adalah Pasal 167 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (4) UU. No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Bila peristiwa yang dijadikan fakta hukum hanya dilokalisir pada fakta-fakta bahwa  kedua nenek tersebut setelah menerima surat perintah pengosongan ternyata tetap menolak untuk meninggalkan rumah milik perum pegadaian yang telah ditempatinya selama puluhan tahun, maka unsur perbuatan kedua nenek tersebut memang terdapat hubungan relevansi dengan unsur-unsur Pasal 167 KUHP dan Pasal 12 UU 4/1992, sehingga secara yuridis-pragmatis atau yuridis-tekstual nampak tidak ada persoalan dalam proses peradilan pidana. Bila dalam persidangan semua fakta hukum yang relevan dengan pasal yang didakwakan dapat dibuktikan maka penjatuhan sanksi pidana merupakan konsekuensi logis, tentu saja hanya bila mengacu pada logika hukum positif (baca: logika peraturan) yang lazim dalam praktek peradilan. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah penyelesaian perkara dengan cara berhukum “kaca mata kuda” tersebut telah mencapai keadilan? Nanti dulu! Bila yang menjadi paradigma penalaran hukum adalah “hukum untuk hukum” maka penyelesaian yang telah sesuai dengan aturan hukum positif tersebut bisa dikatakan telah mencapai tujuan pragmatisnya yakni “keadilan formal”. Sedangkan untuk mencapai keadilan yang lebih bersifat substansial atau “keadilan sejati” bisa jadi masih jauh.

Hukum Kita memang jauh lebih baik dari Hukum negara-negara lain, hal ini bisa dibuktikan dengan Kasus yang lagi hangat di Media baik Cetak maupun Elektronik yaitu kasus TKI Darsem di Arab Saudi yang didakwa telah melakukan Pembunuhan kepada majikannya lantaran menyelamatkan dan menjaga kehormatannya karna ingin di perkosa majikan yang ancaman hukumannya yaitu hukuman Pancung!
Hal ini tentu sangat tidak berperikemanusiaan, namun inilah titik tolak kita ataupun yang menjadi barometer seberapa Manusiawinya Hukum Indonesia. Apabila di Indonesia Hal ini akan tidak di proses dan gugur secara hukum dengan adanya ALASAN PEMBENAR dan ALASAN PEMAAF, yaitu Perbuatan yang merupakan pembelaan darurat pasal 49 ayat 1 KUHPidana.
 
Namun karna Moral dan Komitmen penegak hukum kita belum ada maka sampai kapanpun Hukum di Indonesia belum mampu memberi rasa aman, nyaman dan membuat tersenyum masyarakat.

SALAM KEADILAN!

baca juga :

MAIN HAKIM SENDIRI SEBUAH GAYA BARU

Penegakkan Hukum yang Bermoral


3 komentar:

  1. saya setuju... by Andi

    BalasHapus
  2. mau gimana lagilah bro, inilah wajah hukum kita hanya berasa sama rakyat miskin... by jojo

    BalasHapus
  3. Pidana buat rakyat miskinlah...by crissanta

    BalasHapus